Fenomena Rojali Perlu Diwaspadai sebagai Sinyal Tekanan Ekonomi Kelas Rentan

1 month ago 14

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Badan Pusat Statistik (BPS) menyoroti fenomena rombongan jarang beli atau Rojali yang akhir-akhir ini ramai diberitakan sebagai gejala menurunnya daya beli masyarakat di pusat perbelanjaan. Deputi Bidang Statistik Sosial BPS Ateng Hartono menilai fenomena tersebut menarik untuk dicermati sebagai refleksi dinamika sosial ekonomi yang lebih luas. 

"Rojali atau rombongan jarang beli akhir-akhir ini kan di berita media cukup diangka yang ke pusat pembelanjaan namun tidak membeli apa pun," ujar Ateng saat rilis BPS terkait Profil Kemiskinan di Indonesia Kondisi Maret 2025 dan Tingkat Ketimpangan Pengeluaran Penduduk Indonesia Kondisi Maret 2025 di Kantor BPS, Jakarta, Jumat (25/7/2025).

Meskipun Rojali menggambarkan adanya perubahan pola konsumsi, Ateng menekankan tidak semua perubahan ini berkaitan langsung dengan kemiskinan. Ateng menjelaskan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2025 menunjukkan adanya penurunan konsumsi di kalangan atas, tetapi tidak berdampak signifikan pada angka kemiskinan. 

"Nah, berdasarkan data Susenas 2025, kelompok atas memang agak menahan konsumsinya. Namun ini tentu tidak serta-merta berpengaruh ke angka kemiskinan karena kan itu kelompok atas saja,” ucap dia.

Ateng menilai fenomena Rojali sebaiknya dilihat sebagai gejala sosial yang mencerminkan adanya tekanan ekonomi di kelompok masyarakat tertentu. Menurut Ateng, kelompok yang mengalami tekanan konsumsi tidak selalu masuk kategori miskin, tetapi bisa berasal dari kelas menengah ke bawah yang rentan secara ekonomi. 

"Fenomena Rojali memang belum tentu mencerminkan tentang kemiskinan. Tetapi tentunya ini relevan juga sebagai gejala sosial," sambung Ateng.

Ateng juga menambahkan sebagian kelompok masyarakat yang menjadi Rojali mungkin sedang mengalami pelemahan daya beli meskipun belum dikategorikan sebagai miskin dalam indikator resmi BPS. Oleh karena itu, fenomena ini bisa menjadi peringatan dini bagi pembuat kebijakan untuk menjaga daya beli masyarakat secara lebih luas.

"Bisa jadi ada tekanan ekonomi terutama kelas yang rentan. Sehingga mereka akan menjadi Rojali seperti di mal dan sebagainya,” ucap Ateng.

Ateng menggarisbawahi penting bagi pemerintah untuk memperluas perhatian dari sekadar menurunkan angka kemiskinan menuju upaya menjaga ketahanan konsumsi rumah tangga. Ateng menyebut sinyal-sinyal sosial seperti Rojali dapat memberikan gambaran awal tentang ketidakstabilan ekonomi yang bisa berkembang lebih jauh jika tak direspons. 

"Rojali adalah sinyal penting bagi pembuat kebijakan untuk tidak hanya fokus menurunkan angka kemiskinan, tetapi juga memperhatikan bagaimana untuk ketahanan konsumsi dan stabilitas ekonomi rumah tangga pada kelas menengah ke bawah," ungkap Ateng. 

Meski demikian, Ateng mengakui hingga saat ini BPS belum melakukan pengukuran khusus terkait fenomena Rojali karena tidak menjadi bagian dari instrumen survei resmi. Ateng menjelaskan data yang dimiliki BPS, seperti Susenas, lebih fokus pada konsumsi rumah tangga berbasis sampel, bukan pada perilaku konsumsi di tempat umum seperti pusat belanja. 

"Kami di BPS belum sampai survei ke arah Rojali. Kami surveinya hanya berbasis ke rumah tangga sampel di Susenas kita," kata Ateng. 

Read Entire Article
International | Nasional | Metropolitan | Kota | Sports | Lifestyle |