Greenpeace Kritik RUPTL 2025-2034: Pemerintah Masih Andalkan Energi Fosil

3 months ago 30

TEMPO.CO, Jakarta - Greenpeace Indonesia mengkritik Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034 yang baru saja disosialisasikan oleh pemerintah. Organisasi lingkungan global ini menilai di tengah krisis iklim yang mendesak dan transisi menuju energi bersih, dokumen tersebut masih menunjukkan keberpihakan terhadap energi fosil terutama batu bara dan gas.

Dalam RUPTL terbaru tercantum rencana penambahan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara sebesar 6,3 Gigawatt (GW) dan pembangkit listrik tenaga gas (PLTG) sebesar 10,3 GW. Greenpeace menilai kebijakan ini akan memperkuat ketergantungan Indonesia pada energi kotor dalam jangka panjang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Penambahan pembangkit listrik berbasis fosil akan semakin mengunci Indonesia dalam kondisi coal lock-in dan fossil gas lock-in selama 25 hingga 30 tahun ke depan, atau bahkan lebih, sesuai masa operasi pembangkit,” ujar Adila Isfandiari, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, dikutip dari keterangan tertulis, Kamis, 29 Mei 2025.

Kritik Greenpeace juga mengarah pada Peraturan Menteri ESDM Nomor 10 Tahun 2025 tentang Peta Jalan Transisi Energi Sektor Ketenagalistrikan yang dinilai kontradiktif. Pemerintah tampak masih kesulitan menjalankan rencana pensiun PLTU Cirebon 1 yang belum direalisasikan.

Adila juga menyoroti ketimpangan dalam pembangunan pembangkit antara energi fosil dan terbarukan. Dari 2018 hingga 2023, kata dia, penambahan pembangkit energi fosil tercatat mencapai 18,4 GW. Jumlah itu hampir enam kali lipat dari pembangkit energi terbarukan yang hanya bertambah 3,2 GW. Padahal, pada 2024 bauran energi terbarukan Indonesia baru mencapai 15 persen.

Lebih lanjut, Adila menilai rancangan Rencana Umum Energi Nasional (RPP KEN) versi terbaru justru memperpanjang usia penggunaan batu bara dan gas hingga 2060. Di sisi lain, PLN juga merilis rencana pembangunan 22 GW pembangkit gas baru hingga 2040 melalui program Accelerated Renewable Energy Development (ARED) yang justru dinilai akan menghambat transisi energi.

Dalam kajian bersama Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Greenpeace memperkirakan pembangunan pembangkit gas baru akan meningkatkan emisi karbon hingga 49 juta ton per tahun. Angka ini belum termasuk emisi metana yang bocor sepanjang rantai pasok. Padahal metana memiliki daya pemanasan global 82,5 kali lebih besar dibanding karbon dioksida.

Gas fossil bukan solusi transisi energi. Selain dampaknya terhadap iklim, penggunaan gas juga akan menjadi beban ekonomi karena Indonesia diproyeksikan menjadi net importer gas pada 2040,” kata Adila. Ia menambahkan, menurut riset Trend Asia, pengembangan gas fosil berpotensi menimbulkan beban keuangan negara hingga US$32,42 miliar.

Padahal, kata Adila, Indonesia memiliki komitmen dalam kemitraan transisi energi berkeadilan atau Just Energy Transition Partnership (JET-P) untuk mencapai bauran energi terbarukan 44 persen pada 2030. Presiden Prabowo juga telah menyatakan target ambisius untuk membangun 75 GW energi terbarukan dalam 15 tahun dan mencapai Net Zero Emission pada 2050.

“Pemerintah harus berhenti memberi ruang bagi energi fosil dan mulai memberi arah kebijakan yang konsisten. RUPTL seharusnya mencerminkan komitmen terhadap energi bersih, bukan memperkuat ketergantungan terhadap batu bara dan gas,” kata Adila.

Read Entire Article
International | Nasional | Metropolitan | Kota | Sports | Lifestyle |