Masjid Menanam dan Urban Farming

2 hours ago 2

Image Muliadi Saleh

Gaya Hidup | 2025-09-15 07:21:16

Oleh: Muliadi Saleh

Di depan Masjid Bin Baz

Di tengah kota yang riuh oleh deru kendaraan, di sela gedung-gedung yang meninggi bagai tombak besi menembus langit, masjid hadir bukan hanya sebagai rumah suci tempat bersujud, tetapi juga oase yang menumbuhkan kehidupan. Jika selama ini kita mengenal masjid sebagai pusat ibadah, pendidikan, dan dakwah, maka kini masjid dapat menjadi pusat pangan—sebuah taman keberkahan yang menyatu dengan urban farming.

Bayangkan halaman masjid yang selama ini lapang dengan rumput dan pohon peneduh, kini tertata rapi dengan kebun sayur, hidroponik, bahkan kebun buah mini. Di sela suara azan yang bergema, ada aroma segar daun selada yang baru disiram. Di antara jamaah yang melangkah dengan tenang menuju saf, ada pula ibu-ibu majelis taklim yang selepas mengaji menata polybag berisi cabai dan tomat. Masjid bukan lagi sekadar ruang ibadah, melainkan juga lumbung harapan yang menumbuhkan ketahanan pangan umat.

Islam sejak awal mengajarkan keterpautan yang intim antara iman dan alam. Rasulullah SAW bersabda, “Jika kiamat terjadi sementara di tangan salah seorang di antara kalian ada bibit kurma, maka tanamlah ia.” (HR. Ahmad). Pesan ini bukan hanya simbol kesungguhan, melainkan ajakan abadi: menanam adalah ibadah, bahkan di saat kehidupan hampir musnah. Maka betapa indah jika masjid sebagai jantung peradaban umat juga menanam, menyuburkan bumi, dan memberi pangan bagi manusia.

Urban farming bukan sekadar gaya hidup modern perkotaan. Ia adalah jawaban atas tantangan masa kini: lahan yang sempit, udara yang kian sesak, pangan yang makin mahal. Dengan urban farming, halaman sempit pun bisa menjadi kebun. Dinding masjid bisa disulap menjadi vertical garden, atap masjid bisa menjadi green roof, halaman bisa menjadi lahan hidroponik. Dari masjid, lahir gerakan menanam yang sederhana tapi penuh makna: menyatukan doa, tanah, air, dan cahaya.

Lebih dari sekadar menghasilkan sayur dan buah, gerakan masjid menanam adalah gerakan spiritual. Ia menanam benih kesadaran bahwa bumi adalah amanah, bahwa makanan yang sehat adalah hak setiap insan, bahwa ibadah bukan hanya rukuk dan sujud, tapi juga merawat ciptaan Allah. Di antara rakaat-rakaat shalat, umat belajar tawadhu kepada Sang Pencipta. Dan di antara pucuk-pucuk hijau yang tumbuh, umat belajar sabar, syukur, dan kebersamaan.

Di sinilah sesungguhnya wajah sejati kemakmuran masjid. Ia tidak hanya diukur dari ramainya saf shalat berjamaah, atau megahnya arsitektur dan kubah. Kemakmuran masjid juga tampak ketika ia hidup bersama masyarakatnya, menebar manfaat nyata, menghadirkan pangan sehat, dan menjadi pusat kebaikan yang mengalir hingga ke rumah-rumah sekitar. Inilah makna i’mar al-masajid dalam wujud yang paling konkret: masjid yang memakmurkan dan dimakmurkan, bukan hanya dengan doa, tetapi juga dengan kehidupan yang ditumbuhkan.

Masjid yang menanam bukan hanya menghidupkan tanah, tetapi juga menghidupkan masyarakatnya. Anak-anak belajar mengenal sayur bukan hanya di pasar, tetapi dari halaman masjid. Remaja menemukan energi kreatif lewat hidroponik dan teknologi urban farming. Jamaah belajar berbagi hasil panen untuk fakir miskin. Dan masyarakat sekitar merasakan masjid bukan hanya menyalakan lampu saat malam, tetapi juga menyalakan harapan hidup yang lebih sehat dan berdaya.

Di tengah krisis pangan global dan ancaman perubahan iklim, gerakan ini adalah bentuk nyata resiliensi. Masjid menanam bukanlah mimpi utopis, melainkan realitas yang bisa kita bangun bersama. Bayangkan, jika setiap masjid di Indonesia—yang jumlahnya lebih dari 800 ribu—menjadi pusat urban farming, maka bukan hanya doa yang bergema dari masjid, tapi juga hijau yang menyejukkan kota, pangan yang menenteramkan perut, dan keteladanan yang menumbuhkan jiwa.

Masjid menanam adalah syiar baru peradaban. Ia mengajarkan bahwa iman tidak berhenti di mihrab, tapi juga mengakar di tanah. Ia menegaskan bahwa doa tidak hanya melangit, tetapi juga berbuah di bumi. Dan ia membuktikan bahwa di balik daun-daun yang tumbuh, ada jejak suci tangan-tangan jamaah yang menanam dengan cinta.

Mungkin inilah tafsir baru dari kata rahmatan lil ‘alamin: masjid yang menebar rahmat bukan hanya bagi manusia, tetapi juga bagi tanah, air, udara, dan seluruh makhluk yang hidup di sekitarnya. Dan ketika masjid menanam, ia sedang meneguhkan jati dirinya sebagai pusat kehidupan. Inilah wajah kemakmuran masjid yang sejati—masjid yang memberi napas bagi langit dan bumi, bagi jiwa dan raga, bagi doa dan pangan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
International | Nasional | Metropolitan | Kota | Sports | Lifestyle |