Polemik Royalti Musik Dorong Bisnis Cari Skema Lisensi Berstandar Global

3 hours ago 2

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Polemik pembayaran royalti musik di ruang publik belakangan ramai diperbincangkan. Kasus viral struk restoran yang menambahkan biaya Rp29.140 untuk “Royalti Musik/Lagu” hingga kewajiban Mie Gacoan membayar Rp2,2 miliar, memperlihatkan betapa peliknya aturan yang berlaku. Banyak pelaku usaha, mulai dari ritel, kafe, restoran, hingga hotel, kini lebih berhati-hati menyalakan musik karena khawatir terjerat aturan.

Di media sosial, perdebatan konsumen juga mencuat. Sebagian menilai tak wajar bila pelanggan ikut dibebankan biaya musik, sementara yang lain menyoroti minimnya transparansi dalam skema royalti. Kondisi ini menunjukkan kebutuhan mendesak akan kejelasan aturan dan sistem yang adil bagi semua pihak.

Di tengah situasi tersebut, beberapa brand internasional di Indonesia seperti AEON Mall dan Gyu-Kaku memilih menggandeng USEA Global. Perusahaan berbasis di Singapura ini menawarkan skema lisensi musik berstandar internasional yang diklaim lebih transparan.

Selain melindungi bisnis dari sengketa royalti, sistem USEA diklaim juga dirancang untuk menghadirkan pengalaman multisensori, mulai dari musik berlisensi hingga layar digital dan aroma ruangan yang mendukung suasana gerai.

Hasil riset Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) mendukung fenomena ini. Musik latar terbukti memengaruhi perilaku konsumen, mulai dari memperpanjang waktu kunjungan hingga meningkatkan potensi transaksi. Namun, regulasi di Indonesia masih kerap menimbulkan kebingungan.

“Banyak regulasi dibuat untuk meningkatkan standar bisnis, tetapi praktiknya sering membingungkan pemilik usaha. Kerangka lisensi yang transparan dapat memberi kepastian, sehingga pelaku usaha tahu dengan jelas apa yang mereka bayar,” kata Jerry Chen, CEO USEA Global dalam siaran pers, Sabtu (13/9/2025).

Di level praktik, USEA Global mengeklaim menawarkan sistem berbasis teknologi yang membuat lisensi musik dapat dikelola otomatis. Menurut perusahaan ini, model tersebut memungkinkan pelaku usaha tetap fokus pada operasional dan layanan tanpa khawatir menghadapi klaim mendadak.

Kendati demikian, tantangan utama tetap berada pada harmonisasi regulasi di dalam negeri. Selama aturan royalti masih multitafsir, kebingungan publik dan bisnis kemungkinan akan terus berlanjut.

Bagi pelaku usaha, pilihan kini mengerucut pada dua hal, yaitu berhenti memutar musik, atau mencari skema lisensi yang dianggap paling aman secara hukum.

Read Entire Article
International | Nasional | Metropolitan | Kota | Sports | Lifestyle |