TEMPO.CO, Jakarta - Rumah makan legendaris di Kota Solo, Jawa Tengah, Ayam Goreng Widuran sedang menjadi pembicaraan publik. Hal itu menyusul adanya pengumuman dari manajemen warung makan terkait menu yang mereka jual merupakan produk non-halal.
Melalui pemberitahuannya, pengelola menyatakan permohonan maaf dan menyebut telah mencantumkan keterangan non-halal di seluruh gerainya. “Kami berharap masyarakat dapat memberi kami ruang untuk memperbaiki dan membenahi semuanya dengan itikad baik,” tulis pengelola melalui unggahan di akun Instagram @ayamgorengwiduransolo pada Jumat, 23 Mei 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lantas, apakah keterangan non-halal wajib dicantumkan?
Bahan-Bahan yang Diharamkan
Berdasarkan Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, pelaku usaha yang memproduksi produk dari bahan yang berasal dari bahan yang diharamkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dan Pasal 20 dikecualikan dari mengajukan permohonan sertifikat halal.
Menurut Pasal 18 dalam beleid yang sama, bahan dari hewan yang diharamkan meliputi bangkai, darah, babi, dan hewan yang disembelih tidak sesuai dengan syariat. Selain itu, bahan dari hewan lain yang diharamkan dapat ditetapkan oleh Menteri Agama (Menag) berdasarkan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Kemudian, Pasal 20 menyebutkan bahwa bahan yang berasal dari tumbuhan pada dasarnya halal, kecuali yang memabukkan dan/atau membahayakan kesehatan. Tak hanya itu, bahan yang berasal dari mikroba atau melalui proses kimiawi, biologi, atau rekayasa genetik diharamkan jika proses pertumbuhan dan/atau pembuatannya tercampur, terkandung, dan/atau terkontaminasi dengan bahan yang diharamkan.
Adapun yang dimaksud sebagai produk adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan; minuman; obat; kosmetik; produk kimiawi, biologi, dan rekayasa genetik; serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.
Ketentuan Keterangan Nonhalal
Meskipun dikecualikan dari sertifikasi halal, pelaku usaha yang memproduksi produk dari bahan yang diharamkan harus mencantumkan keterangan dengan jelas. Keterangan tersebut harus bisa dengan mudah ditemukan.
“Undang-undang ini mengatur hak dan kewajiban pelaku usaha dengan memberikan pengecualian terhadap pelaku usaha yang memproduksi produk dari bahan yang berasal dari bahan yang diharamkan dengan kewajiban mencantumkan secara tegas keterangan tidak halal pada kemasan produk atau pada bagian tertentu dari produk yang mudah dilihat, dibaca, tidak mudah terhapus, dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari produk,” demikian petikan bagian penjelasan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014.
Keterangan tidak halal yang dimaksud adalah pernyataan tidak halal yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari produk. Keterangan tersebut dapat berupa gambar, tanda, dan/atau tulisan.
Ketentuan mengenai pencantuman keterangan halal juga diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 42 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal. Keterangan tersebut harus mudah dilihat dan dibaca serta tidak mudah dihapus, dilepas, dan dirusak.
“Bentuk dan tata cara pencantuman keterangan tidak halal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) setelah berkoordinasi dengan kementerian/lembaga,” bunyi Pasal 110 ayat (3) PP Nomor 42 Tahun 2024.