TEMPO.CO, Jakarta - Empat tahun lalu, tepatnya 1 Juni 2021, Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK melantik 1.271 pegawainya yang lolos tes wawasan kebangsaan atau TWK menjadi aparatur sipil negara atau ASN. Di sisi lain, terdapat 75 insan KPK tidak lolos tes tersebut, dan 57 di antaranya berakhir dipecat beberapa waktu kemudian.
Mantan penyidik KPK Aulia Postiera mengatakan 1 Juni seharusnya dimaknai sebagai hari sakral bagi bangsa Indonesia karena merupakan hari lahirnya Pancasila. Sebuah momen reflektif untuk mengenang jasa para pendiri bangsa dan menghidupkan kembali nilai luhur dalam Pancasila: kemanusiaan, keadilan sosial, persatuan, dan semangat antikorupsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Namun, ironisnya, justru pada 1 Juni 2021 lalu, nilai-nilai Pancasila dilecehkan secara terang-terangan oleh pimpinan KPK saat itu, yang menggunakan Pancasila sebagai alat politik untuk menyingkirkan pegawai-pegawai berintegritas,” kata Aulia, yang juga menjadi korban pemecatan buntut TWK, kepada Tempo dalam keterangan tertulis, Ahad, 1 Juni 2025.
Menurut Aul, sapaan akrab Aulia, pemecatan 57 pegawai KPK bukanlah sekadar kebijakan administratif. Pemecatan itu, kata dia, adalah bagian dari operasi politik yang keji. TWK disebutnya hanyalah kedok untuk membersihkan KPK dari orang-orang yang dianggap menghalangi kepentingan politik tertentu.
“Kami diberhentikan dengan narasi-narasi palsu seperti ‘gagal tes wawasan kebangsaan’, ‘radikal’, ‘Taliban’, bahkan ‘anti-Pancasila’. Padahal, proses Tes Wawasan Kebangsaan itu sendiri jauh dari nilai-nilai transparansi, akuntabilitas, dan profesionalitas,” kata Aulia, mengenang peristiwa itu.
Dan hari ini, kata Security IT ini, publik telah melihat akibatnya. KPK yang dulu menjadi simbol harapan, kini justru kehilangan kepercayaan publik. Seharusnya, Pancasila menjadi fondasi perjuangan melawan korupsi, bukan pembenaran untuk melemahkan lembaga antikorupsi. Karena sejarah telah membuktikan—bangsa-bangsa yang gagal memberantas korupsi akan runtuh dari dalam.
Di hari lahirnya Pancasila ini, Aulia ingin mengajak seluruh elemen bangsa untuk kembali ke nilai-nilai sejatinya. Ia mengajak untuk menjaga integritas lembaga-lembaga negara, lindungi para pejuang antikorupsi, dan tegakkan keadilan tanpa takut dan tanpa pamrih. Menurut dia, Indonesia yang dicita-citakan adalah Indonesia yang bersih dari korupsi, kuat karena persatuan, dan besar karena keberanian untuk memperjuangkan kebenaran.
“Karena jika Pancasila benar-benar kita amalkan, maka keadilan dan kebenaran harus menjadi jalan utama bangsa ini,” katanya.
TWK Hanya Alibi Menyingkirkan Pegawai KPK
Pengadaan TWK untuk pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN disinyalir sebagai alibi untuk menyingkirkan sejumlah pegawai yang berintegritas. Dari 75 yang tidak lolos TWK, pada akhirnya 57 di antaranya dipecat. Insan antikorupsi yang didepak itu antara lain Aulia Postiera, penyidik senior KPK Novel Baswedan, Yudi Purnomo Harahap, Lakso Anindito, hingga Praswad Nugraha.
Kecurigaan pelaksanaan TWK mengandung maksud tertentu pernah diungkapkan oleh Novel Baswedan. Menurut dia, aturan tersebut diduga diselundupkan pada tahap akhir pembuatan Peraturan Komisi Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Pegawai KPK Menjadi Aparatur Sipil Negara, yang ditandatangani oleh Ketua KPK saat itu Firli Bahuri pada 27 Januari 2021.
“Tak pernah dibahas tes atau asesmen atau tes wawasan kebangsaan,” kata Novel kepada Tempo di Jakarta, pada Rabu, 19 Mei 2021.
Adapun pelaksanaan TWK bagi pegawai KPK dilakukan setelah disahkannya UU KPK yang baru dan regulasi turunannya. Dalam beleid anyar itu, status pegawai KPK adalah ASN, bukan lagi pegawai lembaga negara. Sebab itu mereka kemudian diharuskan mengikuti tes sebagai agenda peralihan status kepegawaian tersebut.
Namun, Praswad Nugraha, salah satu pegawai KPK yang dipecat, mengaku heran para pegawai lembaga antirasuah harus mengikuti TWK. Pasalnya, berdasarkan Pasal 1 ayat 1 UU KPK 2019, seluruh pegawai KPK adalah ASN. Artinya, karena peralihan status, pegawai KPK tak perlu mengikuti tes. Sehingga mereka otomatis menjadi ASN.
“Tiba-tiba disisipi dalam alih status harus ada wawasan kebangsaan, tiba-tiba tes wawasan kebangsaan yang hanya mengukur menjadi alat menyingkirkan orang-orang yang nyata-nyata berkontribusi secara nyata,” katanya kepada media, pada September 2021 lalu.
Terkini, Novel Baswedan kembali mengenang peristiwa dilantiknya pegawai lembaga antirasuah menjadi ASN pada 1 Juni 2021 lalu tersebut. Novel mengatakan selalu ada upaya sistematis untuk menghancurkan setiap upaya pemberantasan korupsi. Dan hal ini, kata dia, bukan kali pertama, tapi sepanjang negara ini berdiri telah banyak pemberantasan korupsi yang dihabisi.
“Tentu kita ingin melihat ke depan, bagaimana pemberantasan korupsi bisa terus dilakukan. Tentu tidak mudah, di tengah masalah yang telah berkelindan. Di saat pemberantasan korupsi menjadi membingungkan, karena ada dugaan digunakan untuk kepentingan menyerang lawan politik atau setidaknya tidak jelas arahnya,” kata Novel dalam keterangan tertulis kepada Tempo, Ahad, 1 Juni 2025.
Purnawirawan perwira Polri ini menyinggung banyak perkara korupsi besar yang ditangani tetapi tidak menyentuh aktor intelektualnya. Begitu pun dengan kerugian keuangan negara yang tidak terpulihkan. Telah begitu banyak kerugian bangsa ini karena praktik korupsi, mulai dari rusaknya lingkungan hingga terjadinya ketidakadilan serta pelanggaran HAM karena korupsi disektor penegakan hukum.
“Dengan mengingat skandal empat tahun lalu tersebut, saya berharap kita akan terus peduli agar pemberantasan korupsi harus terus dilakukan dengan jujur, obyektif dan berkelanjutan. Karena menyelenggarakan pemberantasan korupsi adalah kewajiban pemerintah dan kebutuhan kita agar hak-hak kita sebagai warga negara terlindungi,” kata dia.