TEMPO.CO, Jakarta - Cho Yong Gi, mahasiswa Program Studi Filsafat Universitas Indonesia, menjadi tersangka dugaan pemicu kericuhan dalam demo Hari Buruh Internasional atau May Day pada 1 Mei 2025 di depan Gedung DPR, Jakarta. Padahal saat kejadian Cho bertugas sebagai tenaga medis.
Ketua Program Studi Ilmu Filsafat Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Ikhaputri Widiantini menyampaikan keprihatinan mendalam atas dijadikannya Cho sebagai tersangka meski pun saat demo dia menjadi tenaga medis lengkap dengan atribut dan peralatannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kami juga sesalkan Cho Yong Gi pada saat kejadian sedang bertugas sebagai tim medis lengkap dengan atribut dan perlengkapan medis tapi tetap mengalami kekerasan fisik dan ditangkap," katanya di Jakarta, Selasa, 3 Juni 2025, seperti dikutip Antara.
Ikhaputri juga bakal mendampingi mahasiswa Cho Yong Gi yang dijadikan tersangka oleh Polda.
Ia juga menyampaikan komitmen dukungan moral dan akademik kepada mahasiswa tersebut serta kepada semua pihak yang memperjuangkan keadilan dan kebebasan berekspresi di Indonesia.
"Sebagai institusi pendidikan yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, kami menegaskan bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum merupakan hak konstitusional setiap warga negara yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan ini adalah fondasi penting berkehidupan bernegara yang demokratis dan berkeadaban," katanya.
Polda Metro Jaya menetapkan 14 orang sebagai tersangka kasus kericuhan di depan Gedung DPR/MPR RI pada peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day pada 1 Mei. Semula polisi menetapkan 13 orang sebagai tersangka, kemudian bertambah menjadi 14 orang.
"Demo anarkis di depan gedung DPR/MPR RI, dari 14 tersebut, sudah dinaikkan statusnya sebagai tersangka 13 orang dan sudah dilayangkan surat panggilan kepada yang bersangkutan," kata Kepala Sub Bidang Penerangan Masyarakat Polda Metro Jaya, Ajun Komisaris Besar Polisi Reonald Simanjuntak.
Adapun 14 orang massa aksi ditangkap oleh polisi dan dibawa ke Polda Metro Jaya saat mengikuti unjuk rasa Hari Buruh di depan gedung D{R, 1 Mei 2025. Awalnya, 13 dari mereka ditetapkan sebagai tersangka. Namun kini seluruh massa yang ditangkap, yaitu 14 orang, sudah berstatus tersangka.
Polisi Dituding Aniaya Petugas Medis
Massa aksi yang tergabung dalam Gebrak (Gerakan Buruh Bersama Rakyat) berunjuk rasa di depan gedung DPR sejak pukul 09:00 WIB. Menurut keterangan Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD), aparat kepolisian menghadang, menggeledah perangkat aksi dan barang pribadi mahasiswa yang melakukan aksi di depan Gedung DPR sekitar pukul 08:20 WIB.
TAUD mengatakan kepolisian juga melakukan penganiayaan kepada paramedis yang sedang berjaga di posko medis. “Kami menemukan bahwa 4 orang dari 14 massa aksi yang ditangkap adalah tim medis dan sedang menjalankan tugas untuk melaksanakan bantuan medis,” ujar koalisi tersebut.
TAUD meminta kepada Polda Metro Jaya untuk menghentikan penyidikan kasus kericuhan di Gedung DPR pada peringatan Hari Buruh Internasional.
"Kami sebelumnya telah mengajukan permohonan penundaan pada panggilan pertama dan juga kami juga telah mengajukan permohonan untuk menghentikan kasus ini lewat permohonan SP3," kata Perwakilan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta yang tergabung dalam TAUD, Astatantica Belly Stanio saat ditemui di Jakarta, Selasa.
Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) adalah surat pemberitahuan yang diterbitkan oleh penyidik kepada penuntut umum yang menyatakan bahwa penyidikan suatu kasus tindak pidana dihentikan.
Penghentian penyidikan ini bisa terjadi karena beberapa alasan, seperti tidak ada bukti yang cukup, peristiwa yang disidik bukan merupakan tindak pidana atau karena alasan hukum lainnya.
SP3 berfungsi sebagai pemberitahuan bahwa proses hukum terhadap tersangka dihentikan dan tidak akan dilanjutkan.
Belly menjelaskan kedatangannya ke Polda Metro Jaya juga untuk memenuhi panggilan kedua karena rekan-rekannya ditetapkan sebagai tersangka dan akan menempuh proses pemeriksaan di Bareskrim.
"Tapi, kami menyayangkan bahwa Polda Metro Jaya lebih cenderung untuk meneruskan kasus ini dan hari ini dilanjutkan dengan panggilan kedua," ucapnya.
Menurut Belly, hal ini adalah bentuk kriminalisasi.
"Sebuah bentuk penyempitan terhadap ruang sipil bagi masyarakat yang melakukan aksi unjuk rasa," katanya.