Mbah Makruf, Ulama Spesialis Doa untuk Santri Pejuang  

3 hours ago 2

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- KH Muhammad Makruf atau yang akrab disapa Mbah Makruf dikenal sebagai ulama karismatik asal Kediri, Jawa Timur, yang memiliki doa-doa mustajab. Pada masa penjajahan, doa-doa yang dipanjatkannya memberi semangat para santri dan pejuang dalam mengusir penjajah dari bumi nusantara.

Majalah Cahaya Nabawiy edisi 160 menyebut, sahabat dekat KH Hasyim Asy’ari ini kerap diminta memimpin doa dalam berbagai helatan Nahdlatul Ulama (NU). Tak hanya itu, saat pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, doa-doanya menjadi penguat mental para pejuang. Banyak yang datang kepadanya memohon doa keselamatan dan keberanian sebelum terjun ke medan laga.

Lahir di Dusun Klampok Arum, Desa Badal, Kediri, pada 1852, Mbah Makruf menempuh perjalanan panjang mencari ilmu. Ia berguru di Pesantren Cepoko Nganjuk, lalu kepada Kiai Sholeh Darat Semarang, Kiai Sholeh Langitan, hingga akhirnya menimba ilmu pada Syaikhona Kholil Bangkalan. Dari para guru besar inilah ia menguasai ilmu lahir dan batin.

Pada 1901, berbekal tirakat dan istikharah, ia mendirikan Pondok Pesantren Kedunglo di Kediri. Pesantren ini sejak awal hanya menerima 40 santri, yang semuanya dididik langsung oleh Mbah Makruf. Dari pesantren kecil itu lahir banyak ulama besar, seperti KH Dalhar Watu Cengho Magelang, KH Manab Lirboyo, KH Bisri Mustofa Rembang, hingga KH Dimyati Tremas.

Ketika NU didirikan pada 1926, Mbah Makruf duduk sebagai Mustasyar (dewan penasihat). Ia juga memimpin NU Cabang Kediri untuk pertama kalinya. Dalam berbagai forum NU, ia kerap didaulat memimpin doa karena diyakini memiliki keberkahan doa yang mustajab.

Perjuangannya tidak berhenti di dunia pesantren. Saat agresi militer Belanda, para pejuang mendatangi Mbah Makruf untuk memohon doa agar kebal senjata. Doanya menumbuhkan semangat juang yang luar biasa.

Selain sebagai ulama spesialis doa, Mbah Makruf juga dikenal sebagai pengamal sholawat sejati. Ia bahkan mewajibkan putra-putrinya membaca sholawat dalam jumlah ribuan kali setiap hari. Dari Kedunglo pula kemudian lahir sholawat Wahidiyah yang disusun oleh KH Abdul Madjid Makruf, salah satu putranya, dan hingga kini diamalkan oleh puluhan ribu umat Islam.

Mbah Makruf wafat pada 1955 dalam usia 103 tahun. Ia dimakamkan di kompleks Masjid Kedunglo. Warisannya berupa Pesantren Kedunglo terus berkembang dan kini menjadi salah satu pesantren berpengaruh di Jawa Timur dengan ribuan santri.

Salah satu penerus Kedunglo, KH Abdul Latif Madjid menegaskan bahwa ajaran Mbah Makruf menekankan pentingnya doa, sholawat, dan perjuangan.

Keilmuan, kedermawanan, serta doa-doa mustajab Mbah Makruf menjadikannya ulama yang tidak hanya dicintai santri, tetapi juga menjadi penguat bangsa di masa perjuangan.

Read Entire Article
International | Nasional | Metropolitan | Kota | Sports | Lifestyle |