TEMPO.CO, Jakarta - Advokat Windu Wijaya mendaftarkan permohonan uji materi terhadap Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66 Tahun 2025 tentang Perlindungan Negara terhadap Jaksa yang diteken Presiden Prabowo Subianto pada 21 Mei 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Windu mendaftarkan permohonan uji materi ke Mahkamah Agung pada Senin, 26 Mei 2025. Windu mengatakan gugatan ini diajukan karena keprihatinannya terhadap potensi pelanggaran terhadap asas legalitas dan hierarki norma hukum dalam sistem ketatanegaraan. Ia mengatakan ada dua alasan yang menjadi dasar permohonan.
“Pertama, pelibatan TNI sebagai pemberi perlindungan tidak sesuai dengan Undang-Undang Kejaksaan,” kata Windu kepada Tempo, 26 Mei 2025.
Ia mengatakan Perpres Nomor 66 Tahun 2025 menetapkan bahwa TNI turut serta dalam memberikan perlindungan terhadap jaksa. Sedangkan, Pasal 8A ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan menyebut secara tegas bahwa Polri adalah institusi yang berwenang memberikan perlindungan terhadap jaksa dalam pelaksanaan tugasnya.
Menurut Windu, masuknya TNI sebagai pihak pelindung merupakan suatu penambahan norma baru yang tidak memiliki dasar dalam undang-undang.
“Hal ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum, terutama karena TNI memiliki fungsi dan struktur komando yang berbeda dari aparat penegak hukum sipil,” ujarnya.
Windu mengatakan memang ada kebutuhan perlindungan maksimal terhadap jaksa dalam menjalankan tugasnya. Namun, kata dia, jika memang negara memandang perlunya keterlibatan TNI dalam mekanisme perlindungan tersebut, langkah yang paling tepat secara hukum adalah melakukan revisi terhadap UU Kejaksaan terlebih dahulu. Baru kemudian dalam revisi itu secara eksplisit memasukkan TNI sebagai subjek pelindung di samping Polri.
“Menghadirkan TNI sebagai pelindung institusional adalah kebijakan yang memerlukan legitimasi undang-undang, bukan sekadar melalui Perpres,” ucapnya. “Dengan demikian, ketertiban hukum tetap terjaga, dan kehormatan lembaga tinggi negara tetap dihormati.”
Alasan kedua, bentuk peraturan tidak sesuai perintah undang-undang. Windu menjelaskan Pasal 8A ayat (3) UU Kejaksaan menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai perlindungan terhadap jaksa harus diatur melalui Peraturan Pemerintah (PP). Namun dalam hal ini, Presiden justru menerbitkan Peraturan Presiden, yang kedudukannya berada di bawah PP dalam hierarki perundang-undangan.
Windu menegaskan penerbitan Perpres justru menciptakan potensi disharmoni dan inkonsistensi dalam sistem regulasi nasional, sekaligus menimbulkan preseden yang dapat berulang pada kebijakan lain jika tidak dikoreksi secara konstitusional.
“Kita perlu menegakkan prinsip bahwa bentuk peraturan harus sesuai dengan tingkat norma yang diperintahkan undang-undang. Ini bukan soal semantik administratif, melainkan soal kepatuhan terhadap sistem hukum yang berlaku,” ujarnya.
Dalam petitumnya, Windu memohon kepada Mahkamah Agung untuk menyatakan bahwa Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2025 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Ia juga meminta MA menyatakan bahwa perlindungan terhadap jaksa hanya dapat diberikan oleh institusi sebagaimana diatur dalam Pasal 8A UU Kejaksaan.
Windu juga meminta Mahkamah Agung memerintahkan Presiden Republik Indonesia untuk mencabut Perpres Nomor 66 Tahun 2025.
“Permohonan uji materi ini bukan bentuk penolakan terhadap substansi perlindungan bagi jaksa, yang justru kami anggap penting dan strategis dalam konteks penegakan hukum yang bebas dari tekanan. Namun, perlindungan tersebut harus dibangun di atas fondasi hukum yang sah, melalui prosedur yang benar, dan dengan bentuk peraturan yang tepat,” jelas Windu.
Sebelumnya, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi mengatakan keterlibatan TNI dalam perlindungan jaksa merupakan suatu hal yang normal. Perlindungan itu merupakan bagian dari kerja sama institusi kejaksaan dengan TNI.
“Jadi begini ya, sebenarnya itu sesuatu yang normal saja. Suatu yang lumrah,” kata Prasetyo di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Jumat, 23 Mei 2025. “Tidak hanya TNI, kejaksaan juga bekerja sama dengan Polri.”
Perlindungan oleh Polri dan TNI disebutkan secara eksplisit pada Pasal 4 Perpres No 66 Tahun 2025, yakni perlindungan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesi dan Tentara Nasional Indonesia.
Pasal 2 tersebut mengatur tentang cakupan perlindungan yang diterima jaksa, yakni “Dalam menjalankan tugas dan fungsi, jaksa berhak mendapatkan perlindungan negara dari ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau harta benda."
Dalam perpres ini, perlindungan oleh Polri dan TNI diatur dalam pasal yang berbeda. Perlindungan dari Polri diatur dalam pasal 5, 6 dan 7. Sedangkan Pasal 5 berbunyi perlindungan Negara yang dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia diberikan kepada jaksa dan/atau anggota keluarga.
Perpres ini dibuat setelah Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto mengeluarkan amanat Telegram pada 5 Mei 2025. Isinya menyatakan TNI mendukung kelancaran dan keamanan dalam pelaksanaan tugas penegakan hukum, baik di Kejaksaan Tinggi atau Kejati maupun Kejaksaan Negeri atau Kejari.
Telegram Panglima TNI itu lalu ditindaklanjuti oleh Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Maruli Simanjuntak melalui surat kepada Panglima Komando Daerah Militer (Pangdam). Rencananya, untuk Kejati dikerahkan 1 SST (Satuan Setingkat Peleton) atau sekitar 30 personel. Sedangkan untuk Kejari, 1 regu atau sekitar 10 personel.
KSAD memerintahkan Satuan Tempur (Satpur) dan Satuan Bantuan Tempur (Satbanpur) AD di wilayah masing-masing untuk menyiapkan personel pengamanan kejaksaan. Apabila tak dapat memenuhi sesuai kebutuhan, Pangdam diwajibkan untuk berkoordinasi dengan satuan Angkatan Laut maupun Angkatan Udara wilayah masing-masing.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar mengonfirmasi pengerahan personel TNI ke Kejati dan Kejari di seluruh Indonesia. Dia menuturkan pengamanan itu bentuk kerja sama sekaligus sebagai dukungan TNI kepada kejaksaan untuk menjalankan tugas-tugasnya.
“Benar ada pengamanan yang dilakukan oleh TNI terhadap kejaksaan hingga ke daerah. Di daerah sedang berproses,” kata Harli melalui pesan pendek kepada Tempo pada Ahad, 11 Mei 2025.
Namun Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai pengerahan personel TNI ke wilayah kejaksaan telah menyalahi aturan. Mereka menyarankan tugas dan fungsi TNI berfokus pada aspek pertahanan dan tak masuk ke ranah penegakan hukum yang dilaksanakan oleh kejaksaan sebagai instansi sipil.
“Pengerahan seperti ini semakin menguatkan adanya intervensi militer di ranah sipil, khususnya di wilayah penegakan hukum,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, pada Ahad, 11 Mei 2025.
Koalisi juga berpendapat, pengerahan prajurit ke kejaksaan bertentangan dengan banyak peraturan perundang-undangan, terutama Konstitusi, UU Kekuasaan Kehakiman, UU Kejaksaan, UU Pertahanan Negara, dan UU TNI yang mengatur secara jelas tugas dan fungsi pokok TNI. Apalagi, kata Koalisi, belum ada regulasi tentang perbantuan TNI di operasi militer selain perang (OMSP) soal bagaimana tugas perbantuan itu dilaksanakan.
Jihan Ristiyanti, Hendrik Yaputra, Daniel Ahmad Fajri, dan Amelia Rahima Sari berkontribusi dalam penulisan artikel ini.