Info Event - Di bawah langit Bali yang cerah pada pagi hari itu, Nuanu Creative City berdenyut dengan energi baru. Sebuah pesta seni internasional perdana, Art & Bali 2025, resmi dibuka pada 12 September, mengubah kawasan kreatif ini menjadi panggung megah di mana karya seni dan kreativitas berpadu dalam harmoni tanpa batas. Di kawasan seluas 44 hektar ini, tradisi bertemu masa depan digital dalam sebuah dialog artistik yang mendalam.
Mengangkat tema Bridging Dichotomies, Art & Bali 2025 menantang garis pemisah: alam dan teknologi, tradisi dan modernitas, kreativitas manusia dan kecerdasan buatan. “Art & Bali bagi saya adalah upaya menanamkan percakapan global di tanah Bali. Ini adalah tentang memberi penghormatan pada tradisi yang membentuk kita, sekaligus membuka pintu bagi suara-suara baru dan pertemuan yang hanya tercipta ketika manusia benar-benar bertemu,” ujar Kelsang Dolma, Director of Art & Bali.
Nuansa dialog itu juga dilontarkan oleh Lev Kroll, CEO Nuanu Creative City. “Nuanu dibangun sebagai ruang di mana kreativitas menyatu dengan kehidupan sehari-hari, sekaligus membuktikan bahwa filosofi serta semangat Bali dapat menyapa dunia melalui seni dan budaya,” katanya, menegaskan misi kawasan kreatif yang terletak di Kabupaten Tabanan ini.
Lev Kroll, CEO Nuanu Creative City Bali.
Sejak langkah pertama, pengunjung disambut lompatan imajinasi melalui Terra Nexus, pameran media baru arahan Mona Liem, seniman dan kurator asal Indonesia yang berbasis di Swiss. “Pameran ini merupakan perwujudan ekspresi holistik. Sebuah panggung di mana teknologi dan sains menari bersama seni untuk melahirkan inovasi yang berakar pada konteks budaya lokal,” tutur Mona. Di sini, instalasi imersif dan kolaborasi seniman digital dengan pemahat tradisional membuktikan bahwa sains dan seni dapat menari bersama, dari karya Goenawan Mohamad hingga lintasan imaji seniman muda Asia Pasifik.
Deretan seniman yang meramaikan Terra Nexus menunjukkan betapa luasnya jangkauan dialog seni lintas medium dan budaya. Lebih dari 30 nama hadir, mulai dari perupa Indonesia seperti Awang Behartawan, Budi Ubrux, Dadi Setiyadi, Heri Dono, Ivan Sagita, Nasirun, Popomangun, Rakhmi Fitriani (Lunang Lembayung), Satya Cipta, Sekar Puti Sidhiawati, Widi Pangestu, hingga Wisnu Ajitama dan Yessiow.
Seniman internasional pun ikut memberi warna, di antaranya Alodia Yap, Dr. Justyna Gorowska, Iroha Ozaki, Jana Schafroth, Valerio Vincenzo, serta kolektif eksperimental MIVUBI, Notanlab, dan Nus Salomo. Nama-nama tenar seperti Goenawan Mohamad (GM) dan Utami A. Ishii menambah bobot pameran, sementara Tulola Jewelry—kolaborasi Sri Luce-Rusna, Happy Salma, dan Franka Makarim—memperluas cakrawala dengan karya perhiasan artistik. Tak ketinggalan para pemenang J+ Art Awards: Geddi Jaddi Membummi, I Made Teler, dan Susur Galur Collective, yang menghadirkan perspektif segar generasi baru. Kehadiran mereka membuat Terra Nexus menjadi pertemuan ide dan medium yang menembus batas geografis sekaligus merayakan keberagaman seni kontemporer.
Iklan
Keajaiban lintas budaya semakin terasa lewat kehadiran 18 galeri dari Indonesia, Jepang, Korea, Singapura hingga Spanyol. Nama-nama seperti Santrian Art Gallery, Asia Pacific Print Club, hingga Feb Gallery Tokyo menampilkan wajah seni kontemporer yang cair, tak terikat sekat negara. Setiap sudut pameran menampung dialog tak terduga—lukisan, patung, dan eksperimen visual yang menyulut percakapan antara masa silam dan masa depan.
Tak kalah memesona, THK Tower menjadi ikon keberlanjutan. Menara monumental rancangan Arthur Mamou-Mani bersama seniman Bali Chiko Wirahadi ini dibangun dari material daur ulang. Pada fase barunya yang diluncurkan saat pameran, pengunjung diajak memproyeksikan harapan dan emosi mereka ke dalam struktur ini, menciptakan perpustakaan suara permanen yang hidup dan berkilau di bawah langit Bali.
Art & Bali bukan sekadar pesta mata, melainkan panggung yang memompa adrenalin seni hingga larut malam. Sorotan utama jatuh pada pertunjukan terbaru Mei Tamazawa di Labyrinth Dome, sebuah eksplorasi lintas disiplin yang memadukan suara, cahaya, dan gerak hingga menciptakan pengalaman imersif yang menghanyutkan penonton. Sementara itu, inisiatif Art Collector’s Pass menegaskan bahwa mengoleksi seni di sini bukan sekadar transaksi, melainkan perjalanan spiritual yang diperkaya kredit seni dan pendampingan kuratorial, mengikat pengunjung dengan karya-karya yang mereka cintai.
Di ujung acara pembukaan Art & Bali 2025, Trokomod tampil sebagai gong raksasa yang menandai dimulainya perayaan seni tanpa batas. Menjulang setinggi 7,5 meter, karya monumental Heri Dono ini memadukan mitos Trojan Horse dengan kekuatan purba komodo, melahirkan sosok hibrida yang sekaligus menakutkan dan memesona. Pernah menggetarkan dunia pada Venice Biennale 2015, Trokomod kini berdiri gagah di jantung Bali, dilingkari pertunjukan site-specific kolektif Kitapoleng yang membuatnya seolah berdenyut dan bernapas. Bukan sekadar instalasi, Trokomod adalah proklamasi artistik—suara Indonesia yang menembus batas geografi dan waktu, memanggil dunia untuk mendengar gaung Nusantara dari tanah para dewa.
Dalam setiap detik perayaan ini, Bali tampil sebagai rumah yang mengundang dunia: tempat di mana warisan leluhur bukan hanya kenangan, tetapi fondasi untuk dialog global. Art & Bali 2025 menandai babak baru bagi pulau yang telah lama menjadi jantung seni Nusantara. Di bawah langit yang sama, teknologi dan tradisi saling menyapa, membentuk simfoni yang hanya bisa lahir di Bali—sebuah pulau yang selalu tahu cara memikat jiwa. (*)