TEMPO.CO, Jakarta - Sebanyak 15 mahasiswa Trisakti ditetapkan sebagai tersangka kerusuhan demonstrasi peringatan 27 tahun reformasi di depan Gedung Balai Kota Jakarta pada Rabu, 21 Mei 2025. Ke-15 orang tersangka itu diduga telah melanggar sejumlah pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), salah satunya Pasal 160 yang mengatur mengenai tindakan penghasutan.
Total tersangka yang ditetapkan Polda Metro Jaya dalam kasus ini menjadi 16 orang. Sebanyak 15 lainnya merupakan bagian dari 93 mahasiswa yang sempat dibawa ke Markas Polda Metro Jaya usai aksi yang berlangsung ricuh.
“Mereka melakukan tindak pidana penghasutan, pengeroyokan, penganiayaan, hingga melawan petugas,” ujar Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Ade Ary Syam Indradi. Ia menyebut aksi tersebut terjadi ketika massa aksi mencoba memaksa masuk ke kompleks Balai Kota dan menyerang petugas pengamanan dalam yang berjaga di pintu gerbang.
Polisi menjerat para tersangka dengan sejumlah pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yakni Pasal 160 tentang penghasutan, Pasal 170 tentang kekerasan bersama, Pasal 351 tentang penganiayaan, serta Pasal 212, 216, dan 218 tentang perlawanan terhadap petugas. Ancaman hukuman dari pasal-pasal itu berkisar antara empat bulan hingga enam tahun penjara
Tentang Pasal 160 KUHP
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pasal ini mengatur mengenai tindakan menghasut di muka umum dengan lisan atau tulisan untuk melakukan perbuatan pidana, kekerasan terhadap penguasa umum, atau tidak menuruti peraturan perundang-undangan. Sebelumnya, pasal ini dianggap sebagai delik formil, namun setelah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7/PUU-VII/2009, pasal ini menjadi delik materil, yang berarti penghasutan baru dapat dipidana jika menimbulkan akibat yang dilarang, seperti kerusuhan atau perbuatan anarki lainnya.
Dikutip dari Mh.uma.ac.id, pasal penghasutan berubah menjadi delik materil. Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengubah rumusan delik penghasutan pada Pasal 160 KUHP dari delik formil menjadi delik materil. Dalam hal ini, pelaku penghasutan baru dapat dipidama bila berdampak pada tindak pidana lain, seperti kerusuhan.
Sebelum diubah, KUHP menyebut Pasal 160 yang mengatur penghasutan sebagai delik formil. Pada delik formil, perbuatan penghasutan dapat langsung dipidana tanpa melihat ada tidaknya dampak dari penghasutan tersebut.
Pasal 160 KUHP berbunyi: “Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diherikan berdasar ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun utau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”
R.Soesilo, sebagaimana dikutip dari Business-law.binus.ac.id, menafsirkan “barang siapa” dalam pasal tersebut berarti “orang” atau “perorangan”. Sementara itu, di muka umum menurut R.Soesilo berarti perbuatan tersebut dilakukan bukan di tempat tersembunyi, melainkan publik dapat mengakses tempat tersebut. Pernyataan di tempat umum diartikan sebagai suatu tempat di mana publik dapat melihatnya.
Lisan atau tulisan, menurut R.Soesilo, menghasut dapat dilakukan baik dengan lisan maupun tulisan. Apabila dilakukan dengan lisan, meka kejahatan tersebut menjadi selesai jika kata-kata yang bersifat menghasut telah diucapkan. Jika menghasut dengan tulisan, maka hasutan tersebut harus ditulis terlebih dahulu, kemudian disiarkan atau dipertontonkan kepada publik.
Sementara itu menghasut, menurut R.Soesilo berarti mendorong, mengajak, membangkitkan atau membakar semangat orang supaya berbuat sesuatu. Dalam kata menghasut tersimpul sifat dengan sengaja. Menghasut lebih keras dari memikat atau membujuk, akan tetapi bukan memaksa.