TEMPO.CO, Yogyakarta - Beragam pameran seni rupa sering dipertunjukkan di Yogyakarta. Namun tidak semua galeri ataupun ruang pameran seni di Yogyakarta telah menerapkan standar inklusi alias bisa diakses siapapun, termasuk ramah difabel.
“Inklusif itu tidak hanya aksesibel untuk difabel, tapi juga untuk lansia, ibu hamil, anak-anak. Patokannya, kalau kebutuhan difabel terpenuhi, kebutuhan lansia juga terpenuhi,” kata Ketua Jogja Disability Arts (DJA), Sukri Budi Dharma saat dihubungi Tempo, Jumat, 23 Mei 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sukri mendorong ruang-ruang seni, galeri dan museum yang dikelola pemerintah terlebih dulu menerapkan konsep inklusi ketimbang yang dikelola pihak swasta. “Karena pemerintah yang mengeluarkan regulasi, jadi harus kasih contoh dulu,” imbuh Butong, panggilan akrabnya.
Menurut Butong, sejauh ini baru ruang pamer yang dikelola Dinas Kebudayaan DIY, yakni Taman Budaya Yogyakarta (TBY) dan Galeri RJ Katamsi di Kampus Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta yang telah menerapkan konsep inklusivitas.
“Boleh saya bilang, Galeri Katamsi itu jadi pilot project untuk ruang pameran yang inklusi,” ucap Butong yang sehari-hari beraktivitas dengan menggunakan tongkat.
Bangunan galeri dengan empat lantai itu sudah berbenah dengan melakukan redisain. Bagi pengguna kursi roda disediakan ram atau bidang miring serta lift yang memudahkan mereka masuk ke ruang pamer secara mandiri.
Juga ada toilet yang mudah diakses difabel dan pengguna kursi roda. Serta diletakkan sejumlah kursi di beberapa titik bagi difabel yang kelelahan. Seniman difabel yang bergabung dalam Komunitas Disabilitas Yogakarta dan Sanggar Pok Ame Ame pernah menggelar pameran di sana pada Mei 2021 yang dihadiri pengunjung difabel.
Menyusul kemudian TBY yang sudah tiga kali menjadi lokasi gelaran pameran Suluh Sumuruh Art Festival (SSAF) sejak 2022 hingga 15-23 Mei 2025. Pameran setahun sekali itu menghadirkan karya para seniman difabel berupa lukisan, patung, instalasi,juga video. Para seniman ini mempunyai beragam latar belakang disabilitasnya, baik difabel fisik, difabel mental, juga autis dan down syndrome.
Inklusivitas TBY juga tampak dari penyediaan ram dan beberapa kursi roda disediakan di pintu masuk ruang pamer. Juga toilet yang aksesibel dan cukup luas untuk perputaran kursi roda. “Semula bukan pintu geser, tapi sekarang sudah mudah diakses,” jelas Butong.
Lantaran tidak ada lift, ruang pameran yang dipakai adalah di lantai dasar. Mengingat akses ke bangunan dua lantai itu menggunakan anak-anak tangga. “Kan TBY itu heritage ya, jadi untuk mengubah fisik bangunan tidak mudah,” kata Butong.
Pameran yang berlangsung sepekan itu juga menyediakan satu ruangan khusus yang disebut Ruang Tenang. Tempo sempat melongok isi ruangan yang ditutup dengan tirai hitam itu. Di dalamnya disediakan sofa untuk tempat istirahat pengunjung difabel yang kelelahan. “Dulu namanya Ruang Tantrum untuk autis, down syndrome, bipolar, skizofrenia beristirahat. Biasanya kalau atmosfernya padat mudah terdistraksi,” jelas dia.
Sementara untuk membantu netra bisa mengetahui karya-karya seni rupa yang dipamerkan, panitia menyediakan dua jenis katalog yang bisa diakses secara elektronik. Satu kalatog untuk pengunjung umum dan satu lagi untuk netra.
Dua orang netra, yakni Robi Agus Widodo dan Fauzi M. Haidi mencoba untuk mengakses e-katalog tersebut dengan telepon seluler mereka. Suara perempuan tampak terdengar dari pelantang telepon genggamnya. “Ya, bisa kami akses,” kata Robi, 43 tahun.
Fauzi menambahkan, belakangan netra sudah lebih nyaman untuk mengakses teks dan gambar lewat aplikasi gadget mereka ketimbang menggunakan huruf Braille. “Sudah semakin sedikit yang mau belajar Braille. Lebih familiar lewat aplikasi,” aku Fauzi, 26 tahun.
Meski demikian, panitia menyediakan pemandu bagi netra untuk membantu menjelaskan karya-karya seni yang dipajang. Juga ada sesi tour gallery bagi pengunjung, baik untuk difabel, masyarakat umum, maupun anak-anak sekolah.
Sementara Kepala TBY, Purwiati menjelaskan, pihaknya berupaya untuk menjadikan TBY ruang inklusif untuk semua. Pemerataan akses terhadap pendidikan seni, pelatihan teknik, ruang pameran, serta jejaring kreatif, menurut dia harus menjadi prioritas utama dalam menciptakan ekosistem seni rupa yang inklusif. “Mencakup penyediaan fasilitas yang ramah disabilitas, juga kesempatan mengikuti ajang pameran perlu dibuka secara setara,” kata dia.
Pameran karya seni rupa difabel Suluh Sumurup pertama kali digelar di rumah penduduk di Gunungkidul pada 2020. Lalu berlanjut di Galeri RJ Katamsi pada 2021. Kemudian tiga tahun berturut-turut diadakan di TBY.
Dalam SSAF 2025 bertema “Jejer” pekan lalu, ada 193 karya dari 131 seniman yang dipamerkan. Para peserta berasal dari 15 provinsi, meliputi Sumatera Utara, Bengkulu, Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Bali, Nusa Tenggara Timur, Maluku dan Papua.
Karya seni yang dipamerkan dikurasi oleh tiga kurator, yakni Butong, Dosen Fakultas Seni Rupa Jurusan Seni Murni dan Jurusan Tata Kelola Seni ISI Yogyakarta Nano Warsono, serta Ketua Program Studi Doktor Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa UGM Budi Irawanto.