DPR Tegur Pejabat Kementerian Kebudayaan yang Labeli Penolak Penulisan Ulang Sejarah Sebagai Radikal dan Sesat

3 months ago 25

TEMPO.CO, Jakarta - Proyek penulisan ulang sejarah nasional Indonesia yang tengah digarap Kementerian Kebudayaan menuai kritik dari Anggota Komisi X DPR, Bonnie Triyana. Ia menyoroti munculnya labelisasi terhadap kelompok masyarakat yang menyampaikan pandangan kritis terhadap proyek penulisan ulang sejarah Indonesia itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kritikan itu muncul setelah Direktur Sejarah dan Kemuseuman Kementerian Kebudayaan Agus Mulyana menyebut pihak yang menolak dan mengkritisi proyek penulisan sejarah itu sebagai kelompok radikal dan sesat sejarah.

“Saya membaca di media, ada yang menyebut kelompok pengkritik proyek ini sebagai sesat, bid’ah sejarah, bahkan radikal,” kata Bonnie dalam rapat kerja bersama Kemenbud RI, Senin, 26 Mei 2025. “Saya minta klarifikasi dari Direktur Sejarah dan Kemuseuman.”

Bonnie menyebut, kelompok yang hadir menyampaikan kritik terhadap proyek tersebut antara lain dipimpin oleh Marzuki Darusman, tokoh senior Golkar yang pernah menjabat sebagai Jaksa Agung di era Presiden Abdurrahman Wahid, Ketua Komnas HAM, hingga pelapor khusus PBB untuk isu HAM.

Ia juga menyebut nama Kiai Imam Aziz, tokoh Nahdlatul Ulama yang pernah menjabat di PBNU. “Apakah tokoh-tokoh seperti Pak Marzuki dan Kiai Imam ini yang disebut sesat dan radikal?” ujar Bonnie.

Ia mengingatkan agar pejabat negara tidak mudah melabeli kelompok masyarakat yang memiliki pandangan berbeda dalam isu sejarah.
“Ini saatnya kita hentikan stigma dan label. Kritik sedikit dibilang radikal. Celana cingkrang dikira teroris. Besok-besok dibilang komunis, Taliban. Jangan main stempel begitu,” kata Bonnie. “Karya sejarah macam apa yang bisa dihasilkan bila pendekatannya dilandasi stigma?”

Menteri Kebudayaan Fadli Zon menanggapi kritikan dari Bonnie. Fadli mengaku tak tahu menahu perihal pernyataan yang disampaikan anak buahnya itu. Dia menegaskan pernyataan Direktur Sejarah dan Kemuseuman Kemenbud Agus Mulyana sebagai pernyataan pribadi dan bukan mewakili institusi Kemenbud secara keseluruhan. 

“Saya tidak tahu. Terus terang. Di dalam diskusi itu saya kira kalau pun ada semacam itu, jelas bukan sikap dari kementerian. Biasalah. Beliau ini kan dwifungsi, trifungsi sebagai sejarawan, sebagai ketua umum masyarakat sejarawan atau sebagai pribadi. Jadi kalau ada hal-hal itu, kami sangat terbuka menerima masukan dari berbagai kalangan, dari sejarawan lainnya,” kata Fadli. 

Dia juga menyampaikan permohonan maaf atas pernyataan Agus Mulyana yang dinilai menyinggung dan melabeli masyarakat yang menolak proyek penulisan sejarah yang tengah digarap Kemenbud. “Kalau ada ungkapan seperti itu, tentu kami juga mohon maaf.”

Sebelumnya, Direktur Sejarah dan Kemuseuman Kemenbud Agus Mulyana menyatakan kelompok yang menolak penulisan sejarah sebagai kelompok yang bisa disebut sebagai bid’ah sejarah dan sesat.

“Ada kelompok yang bilang proyek ini untuk mencuci dosa masa lalu. Saya kira itu perspektif yang bisa disebut bid’ah sejarah,” kata Agus dalam diskusi dengan PBNU, dikutip dari Youtube resmi PBNU, Senin, 26 Mei 2025. 

Dia menyampaikan meski ada pihak yang tidak setuju dengan penulisan ulang sejarah, hal itu tak jadi penghalang untuk menghentikan proyek tersebut. “Masa kita tidak boleh menulis sejarah di era keterbukaan seperti ini?” ujarnya. “Di era keterbukaan inilah, saya juga orang kampus, bukan birokrat murni. Di sini kita justru (bisa memahami), ya, pasti tidak akan memuaskan semua sepenuhnya,” katanya.

Read Entire Article
International | Nasional | Metropolitan | Kota | Sports | Lifestyle |