Transformasi Sistem Keuangan Global Pasca Krisis: Dari Bank ke Infrastruktur Baru

15 hours ago 5

Image Bhenu Artha

Sinau | 2025-09-11 13:40:52

Bhenu Artha, Dosen Prodi Kewirausahaan Universitas Widya Mataram (Sumber: Dokumentasi Pribadi)

Lebih dari lima belas tahun setelah krisis keuangan global 2008, lanskap perbankan dan sistem keuangan dunia tampak lebih aman di permukaan. Reformasi regulasi, penguatan modal, dan pengawasan yang lebih ketat telah membuat bank-bank besar lebih tahan terhadap guncangan. Namun, di balik stabilitas yang terlihat, sistem ini tengah mengalami evolusi mendasar—pergeseran yang mengubah siapa yang menyediakan likuiditas, bagaimana uang bergerak, dan di mana risiko baru bersembunyi.

Ironisnya, guncangan besar berikutnya mungkin tidak akan lahir dari jantung perbankan tradisional, melainkan dari infrastruktur baru yang kini menopang sistem keuangan global. Perubahan ini bukan sekadar kosmetik; ia mengubah arsitektur intermediasi keuangan, memindahkan pusat gravitasi dari bank ke aktor-aktor nonbank, teknologi, dan jaringan terdesentralisasi.

Krisis keuangan global 2008 menjadi titik balik besar. Runtuhnya Lehman Brothers, membekunya pasar kredit, dan gelombang bailout pemerintah memaksa regulator di seluruh dunia untuk memperkuat sistem perbankan. Basel III memperkenalkan persyaratan modal dan likuiditas yang lebih ketat, stress test menjadi rutin, dan pengawasan makroprudensial diperluas.

Hasilnya, bank-bank besar kini memiliki cadangan modal yang lebih tebal, profil risiko yang lebih konservatif, dan pengawasan yang lebih intensif. Namun, penguatan ini juga memiliki konsekuensi tak terduga: bank menjadi lebih berhati-hati dalam menyalurkan kredit dan menyediakan likuiditas, membuka ruang bagi pemain baru untuk mengisi kekosongan.

Ketika bank mengurangi eksposur pada aktivitas berisiko tinggi, manajer aset (asset managers) mulai mengambil peran yang lebih besar dalam menyediakan likuiditas. Perusahaan seperti BlackRock, Vanguard, dan Fidelity mengelola triliunan dolar dana investor, yang sebagian besar dapat bergerak cepat di pasar obligasi, saham, dan instrumen derivatif.

Likuiditas yang dulu terkonsentrasi di neraca bank kini tersebar di portofolio dana investasi, ETF, dan instrumen pasar modal lainnya. Perubahan ini memperluas akses pembiayaan, tetapi juga menciptakan risiko baru: likuiditas yang disediakan oleh manajer aset dapat menguap dengan cepat jika investor melakukan penarikan massal.

Selain manajer aset, start-up keuangan nonbank (fintech) juga memainkan peran penting. Mereka mengembangkan alat penilaian risiko baru untuk pemberi pinjaman institusional, memanfaatkan big data, machine learning, dan analitik prediktif.

Teknologi ini memungkinkan penilaian kredit yang lebih cepat dan granular, bahkan untuk segmen yang sebelumnya sulit diakses. Namun, ketergantungan pada algoritma juga membawa risiko bias data, kurangnya transparansi, dan potensi kegagalan sistemik jika model-model ini terbukti keliru dalam kondisi pasar ekstrem.

Sementara itu, pengembang di seluruh dunia memperkenalkan beragam aset kripto—dari Bitcoin dan Ethereum hingga stablecoin dan tokenisasi aset riil. Infrastruktur blockchain memungkinkan transaksi peer-to-peer tanpa perantara tradisional, membuka peluang baru untuk inklusi keuangan dan inovasi produk.

Namun, volatilitas harga, risiko keamanan siber, dan ketidakpastian regulasi membuat sektor ini menjadi sumber potensi guncangan. Kasus runtuhnya bursa kripto besar atau kegagalan stablecoin dapat memicu efek domino ke pasar keuangan yang lebih luas, terutama jika keterkaitan dengan sistem tradisional semakin erat.

Di sisi lain, bank sentral dan pemerintah memperkenalkan sistem pembayaran real-time (real-time gross settlement, RTGS) yang memungkinkan transfer dana instan antar rekening. Inovasi ini menurunkan biaya transaksi, mempercepat perputaran uang, dan meningkatkan efisiensi ekonomi.

Namun, percepatan ini juga berarti likuiditas dapat berpindah lintas batas dan lintas platform dalam hitungan detik, memperbesar potensi penularan krisis jika terjadi kepanikan pasar.

Gabungan dari semua inovasi ini telah menggeser struktur intermediasi keuangan global. Tiga fungsi inti perbankan—likuiditas, kredit, dan pembayaran—tidak lagi didominasi oleh bank.

  • Likuiditas kini banyak disediakan oleh manajer aset dan pasar modal.
  • Kredit semakin bergantung pada platform fintech dan model penilaian risiko berbasis data.
  • Pembayaran bergerak melalui jaringan teknologi, baik yang dikelola oleh bank sentral maupun oleh perusahaan swasta dan blockchain.

Pergeseran ini membawa manfaat besar: biaya lebih rendah, akses lebih luas, dan kecepatan transaksi yang belum pernah terjadi sebelumnya. Namun, ia juga memecah pusat kendali, membuat pengawasan dan koordinasi menjadi lebih kompleks.

Dengan infrastruktur yang semakin terdesentralisasi, risiko sistemik juga berubah bentuk. Beberapa potensi sumber guncangan baru antara lain:

  • Risiko Likuiditas Nonbank: Penarikan dana besar-besaran dari reksa dana atau ETF dapat memicu spiral harga di pasar obligasi.
  • Risiko Teknologi: Gangguan pada sistem pembayaran real-time atau serangan siber pada platform fintech dapat melumpuhkan aliran dana.
  • Risiko Kripto: Kegagalan stablecoin besar atau bursa kripto dapat memicu kepanikan lintas pasar.
  • Risiko Regulasi: Perbedaan aturan antar negara dapat menciptakan arbitrase regulasi, di mana pelaku memindahkan aktivitas ke yurisdiksi dengan pengawasan lebih longgar.

Regulator kini menghadapi dilema. Di satu sisi, mereka harus memastikan stabilitas sistem keuangan dengan memperluas pengawasan ke sektor nonbank, teknologi, dan aset digital. Di sisi lain, mereka tidak ingin menghambat inovasi yang membawa manfaat ekonomi nyata.

Pendekatan yang mungkin diperlukan adalah regulasi berbasis fungsi (activity-based regulation), di mana pengawasan dilakukan berdasarkan jenis aktivitas dan risiko yang ditimbulkan, bukan hanya pada jenis institusi. Ini berarti manajer aset besar, platform pembayaran, dan penyedia stablecoin mungkin akan menghadapi standar likuiditas, transparansi, dan manajemen risiko yang mirip dengan bank.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
International | Nasional | Metropolitan | Kota | Sports | Lifestyle |