REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga think-tank Center of Economic and Law Studies (Celios) mengatakan rencana Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengalihkan kas negara sebesar Rp 200 triliun di Bank Indonesia ke Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) perlu dikawal ketat. Celios menegaskan perlu dipastikan aliran dana perlu tidak dikucurkan ke proyek energi fosil hingga menghambat transisi energi dan memicu risiko kredit macet bagi perbankan.
Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira khawatir pemindahan kas pemerintah dari BI ke Himbara akan lebih banyak digunakan untuk membiayai pinjaman sektor energi fosil. Dibanding mengalokasikannya untuk pendanaan iklim dan pengembangan sektor energi terbarukan.
“Pak Purbaya harus lebih berhati-hati, tidak bisa sekedar diserahkan ke bank Himbara dalam pembiayaan kas pemerintah, karena langkah ini berisiko terjadinya aset terlantar (stranded asset) dan kredit macet,” kata Bhima dalam pernyataannya, Jumat (12/9/2025).
Ia mengatakan Menteri Keuangan perlu membuat perjanjian dan regulasi yang spesifik. Salah satunya dapat dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan untuk memastikan dana pemerintah dikelola sejalan dengan target mencapai 100 persen energi terbarukan dalam 10 tahun ke depan.
“Likuiditas tambahan bagi bank Himbara bukan sekedar mendorong pertumbuhan kredit, tapi juga targeted, tepat sasaran ke sektor yang membuka lapangan kerja. Nah, sektor energi terbarukan itu punya andil mendorong 19,4 juta green jobs dalam 10 tahun kedepan. Tapi selama ini bank Himbara kurang dari 1 persen porsi penyaluran kredit ke sektor energi terbarukan. Peralihan dana kas pemerintah dari BI ke Himbara jadi momentum transisi ke motor ekonomi yang prospektif,” kata Bhima.
Policy Strategist CERAH Dwi Wulan mengatakan pemanfaatan kas tersebut seharusnya diarahkan untuk proyek-proyek berkelanjutan, yakni energi terbarukan. Apalagi, dari potensi energi terbarukan Indonesia yang menyentuh 3.687 gigawatt (GW), pemanfaatannya baru sekitar 13 GW atau kurang dari 1 persen.
“Dengan memperkuat porsi pendanaan untuk energi bersih, pembangunan ekonomi melalui industrialisasi bisa didukung secara stabil dan berbiaya kompetitif, sehingga Indonesia bukan hanya menjaga stabilitas fiskal, tapi juga membangun ketahanan energi dan mempertegas komitmen iklim nasional,” kata Dwi Wulan.
Dwi Wulan memproyeksikan, proses industrialisasi –termasuk hilirisasi nikel, tembaga, dan bauksit– membutuhkan tambahan energi listrik hingga 50-60 GW pada 2040. Jika kebutuhan tersebut masih bergantung pada energi fosil, risiko stranded asset sangat besar.
“Karena itu, pemerintah dan Bank Himbara perlu mengadopsi dan penguatan kerangka ESG (Environmental, Social, Governance) sebagai panduan penyaluran dana,” katanya.