Rantai Pasok dan SDM Jadi Kunci Indonesia Optimalkan Energi Surya

4 hours ago 2

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Indonesia tengah dihadapkan pada pilihan strategis dalam transisi energi. Energi surya yang memiliki potensi hampir 3.200 gigawatt (GW) diyakini bisa menjadi motor penggerak, bukan hanya untuk mencapai target iklim, tetapi juga membangun ekonomi baru. Namun, tanpa penguatan rantai pasok industri dan sumber daya manusia (SDM), ambisi itu dikhawatirkan sulit diwujudkan.

Pemerintah menargetkan pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) hingga 108,7 GW pada 2060 dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN). Presiden Prabowo Subianto bahkan menegaskan komitmen membangun 100 GW PLTS, terdiri atas 80 GW tersebar dan 20 GW terpusat.

Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Eniya Listiani Dewi menekankan perlunya penguatan ekosistem agar target itu bisa tercapai. “Untuk mendukung implementasi PLTS di Indonesia, diperlukan ketersediaan industri rantai pasok surya, ketersediaan Engineering, Procurement, Construction (EPC) surya di seluruh daerah, serta peningkatan kapasitas SDM, khususnya di wilayah terpencil. Bonus demografi Indonesia perlu dimanfaatkan untuk memajukan energi surya nasional,” kata Eniya dalam acara Indonesia Solar Summit (ISS) 2025, Kamis (11/9/2025).

Eniya menegaskan energi surya bukan sekadar alternatif energi bersih, melainkan peluang strategis. “Potensi energi surya ini bisa menjadi motor transisi energi sekaligus mendongkrak lebih cepat pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen,” ujarnya.

Kajian Institute for Essential Services Reform (IESR) menyebut, Indonesia memiliki potensi proyek PLTS di atas tanah layak ekonomi sebesar 165,9 GW di 290 lokasi, serta PLTS terapung 38,13 GW di 226 lokasi. IESR menilai energi surya bisa menjadi pintu masuk bagi pengembangan hidrogen dan amonia hijau.

CEO IESR Fabby Tumiwa mengingatkan jalan menuju ambisi itu penuh tantangan. Kompleksitas kebijakan, regulasi yang tumpang tindih, perizinan berbelit, keterbatasan pendanaan, hingga minimnya pekerja terampil masih menghambat laju pengembangan PLTS.

“Harga batas atas tidak sesuai dengan keekonomian proyek. Subsidi energi fosil membuat listrik dari pembangkit fosil seakan murah, sehingga menciptakan persaingan tidak sehat untuk PLTS,” kata Fabby.

Ia juga menyoroti keterbatasan jaringan listrik nasional yang masih terpusat dan beroperasi dengan sistem lama. “Solusinya, kita harus segera melakukan modernisasi jaringan listrik, membangun smart grid, dan mengintegrasikan teknologi penyimpanan energi,” ujarnya.

Fabby menyebut komitmen Prabowo untuk membangun 100 GW PLTS sebagai gagasan revolusioner demi menghadirkan keadilan energi. Namun, ia menekankan strategi berbasis komunitas mutlak diperlukan. Mulai dari perencanaan rinci yang memenuhi standar pembiayaan, pemberdayaan tenaga lokal, hingga pengembangan model PLTS skala kecil yang terjangkau bagi desa.

ISS yang digelar sejak 2022 menjadi forum penting membahas peta jalan energi surya Indonesia. Edisi keempat tahun ini terselenggara atas kerja sama IESR dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian serta Kementerian ESDM, didukung Pertamina New & Renewable Energy, Tenggara Strategics, dan Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI).

Read Entire Article
International | Nasional | Metropolitan | Kota | Sports | Lifestyle |